Jumat, 23 Januari 2015

PEMBUATAN "EDIBLE FILM" DARI TUMBUHAN CINCAU HIJAU






 KATA  PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Tuham Yang Maha Esa, yang mana telah memberikan rahmat dan karunianya serta kesehatan jasmani dan rohani sehingga penyusun dapat menyalesaikan tugas pembuatan makalah Agroindustri dengan judul Pengolahan Hasil Hutan Pengolahan Tumbuhan Cincau Hijau  Menjadi Kemasan Edible Film.
Dalam penulisan makalah ini penyusun telah banyak menerima bantuan dari beberapa pihak baik secara moril maupun meteril. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1.    Ir. Mariani Sebayang, M.Si selaku dosen pembimbing pada mata kuliah Agroindusri.
2.    Orang tua dari seluruh kelompok penyusun yang terus memberikan dukungan kepada kelompok penulis.
3.    Teman – teman dari seluruh kelompok penyusun yang telah ikut memberikan bantuan dan support kepada kelompok penyusun.
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan didalam makalah ini. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi diri penyusun sendiri maupun bagi para pembaca.
Terima Kasih.



                                                                                     Medan,    Desember  2014
                                                                                                  Penyusun




DAFTAR  ISI
   Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii vi
BAB  I.... PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1     Latar Belakang Masalah................................................................ 1
1.2     Rumusan Masalah.......................................................................... 2
1.3     Tujuan Penulisan Makalah............................................................. 3
BAB  II   TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 4
2.1     Tanaman Cincau............................................................................ 4  
2.2     Edible Film.................................................................................... 5
2.3     Bahan Yang Digunakan Dalam Edible Film dan Coating............ 7
2.4     Bahan Pembentuk Film................................................................. 7
2.4.1        Bahan Hidrocolloidal......................................................... 7
2.4.2        Film Polisakarida............................................................... 7
2.4.3        Film Berbasis Polisakarida................................................. 8
2.5     Metode Aplikasi Dari Edible Film Dan Coating........................... 10
2.6     Efek Penggunaan Edible Film Pada Makanan Dan Aplikasinya.. 12
BAB  III   METODE PENELITIAN................................................................ 13
3.1     Bahan Dan Alat............................................................................. 13           
3.2     Tahapan Penelitian......................................................................... 14
BAB  IV  PEMBAHASAN................................................................................ 19
4.1     Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau......................... 19
4.1.1        Hasil Karakterisasi Kimia Dan Randemen Bubuk Cincau 19
4.1.2        Hasil Karakterisasi Kimia Dan Randemen Pektin Cincau. 20
4.2     Karakterisasi Edible Film Cincau Hijau........................................ 22
4.2.1        Pengaruh Konsentrasi Pektin Terhadap Ketebalan Edible 22
4.2.2        Pengaruh Konsentrasi Pektin Terhadap Kelarutan Edible. 23
4.2.3        Pengaruh Konsentrasi Pektin Terhadap Tensile Strengh... 24
4.2.4        Pengaruh Konsentrasi Pektin Terhadap Elogasi Edible .... 24
BAB  IV  PENUTUP......................................................................................... 26
5.1     Kesimpulan.................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................27
LAMPIRAN.........................................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN

 1.1      Latar Belakang Masalah
            Tanaman cincau termasuk tanaman asli Indonesia dan mempunya nama lain diantaranya Camcao, Juju, Kepleng (Jawa); Camcauh, Tahulu (Sunda). Tanaman ini tumbuh menyebar di daerah Jawa Barat (sekitar Gunung Salak, Batujajar, Ciampea, dan Ciomas), Jawa Tengah (Gunung Ungaran, Gunung Ijen), Sulawesi, Bali, Lombok, dan Sumbawa.
            Ada empat jenis tanaman cincau menurut yaitu cincau hijau baik jenis cincau hijau rambat (Cyclea Barbata) maupun cincau hijau pohon (Premna oblongifolia), cincau perdu (Premna serratifolia), cincau hitam (mesona palustris), dan cincau minyak (Stephania hermandifolia). Dari keempat tanaman tersebut yang dikenal sebagian besar masyarakat adalah cincau hijau dan cincau perdu. Namun, cincau yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah cincau hijau, cincau perdu, dan cincau hitam. Bentuk fisik ketiga tanaman ini berbeda satu sama lain. Namun masyarakat Indonesia amat menggemari jenis cincau hijau sebab daunnya bersifat tipis, dan lemas, sehingga lebih mudah diremas untuk dijadikan gel atau agar-agar. Cincau hijau pohon (Premna oblongifolia Mier), merupakan bahan makanan tradisional yang telah lama dikenal masyarakat dan digunakan sebagai isi minuman segar. Cincau tersebut disenangi masyarakat karena berasa khas, segar, dingin, serta harganya
murah.
            Dikabupaten Wonogiri tepatnya di kecamatan Bulukerto, banyak dibudidayakan tanaman janggelan dan cincau hijau yaitu jumlah produksi 6.000 ton per tahunnya dengan luas lahan 1.000 hektar. Permintaan cincau cukup besar, bahkan mencapai Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
            Cincau hijau kaya akan karbohidrat, polifenol, saponin, dan lemak; tidak ketinggalan kalsium, fosfor, vitamin A dan B. Komponen utama ekstrak cincau hijau yang membentuk gel adalahpolisakarida pektin yang bermetoksi rendah. Pektin tersebut merupakan kelompok hidrokoloid pembentuk gel yang apabila diserut tipis-tipis mempunyai sifat amat rekat terhadap cetakan dan tembus pandang, sehingga berpotensi untuk dibuat sebagai edible film. Sebab diketahui bahwa komponen utama penyusun edible film ada tiga kelompok, yaitu hidrokoloid, lemak dan komposit. Penggunaan pektin dari ekstrak cincau hijau dapat dikombinasikan dengan tepung tapioka, sehingga menghasilkan film yang
bersifat transparan serta kaku. Edible film dari tapioca mamiliki sifat mekani yang hampir sama dengan plastik dan kenampakannya transparan.
            Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya, dan zat larut), dan atau sebagai carrier bahan makanan atau bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan.
            Selain hal-hal tersebut di atas, karena mengandung warna hijau yang alami yaitu klorofil, diduga Edible film yang dihasikan dari pektin cincau hijau, akan menghasilkan warna hijau yang lebih seragam, sehingga cocok sebagai pengemas buah atau sayur yang berwarna hijau; seperti anggur hijau.

1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses penyediaan bahan untuk pembuatan edible film dari Cincau Hijau?
2.       Bagaimana karakteristik edible film?
3.      Bagaimana proses pembuatan edible film Pektin Cincau Hijau?




1.3       Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui proses penyediaan bahan untuk pembuatan pembuatan edible film dari Cincau Hijau
2.       Untuk mengetahui karakteristik edible film
3.      Untuk mengetahui proses pembuatan edible film Pektin Cincau Hijau
4.      Untuk mengetahui edible film .



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Tanaman Cincau

Gb.2.1 Cincau hitam                 Gb.2.2 Cincau Hijau             Gb.2.3.Cincau Hijau                      
(Mesona palustris BI)      (Premna oblongifolia Merr.)         (Cyclea barbata L Miers)

Cincau adalah tanaman yang daunnya menghasilkan gel (jeli), semacam agar-agar untuk bahan minuman. Agar-agar cincau terasa segar dan tawar dengan aroma yang sangat khas. Selain lezat dan menyegarkan, cincau juga berkhasiat antipiretik (menurunkan suhu badan atau yang populer sebagai panas dalam), dan stomakikum (merangsang nafsu makan). Khasiat ini disebabkan leh adanya kandungan berbagai alkaloid, yang terdapat dalam butir hijau daun. Cincau bisa dikonsumsi secara tunggal dengan santan dan gula merah, bisa pula dengan campuran berbagai macam bahan. Dalam es campur, cincau dikonsumsi bersamaan dengan aneka buah. Biasanya blewah dan nangka, ditambah tapai dan bahan-bahan lain sesuai selera. Yang biasa dikonsumsi secara tungal adalah cincau hijau. Yang dicampur dengan berbagai bahan lain adalah cincau hitam.
Cincau hijau berasal dari dua jenis tanaman yang berbeda. Yakni cincau rambat (Cyclea barbata) dan cincau perdu (Premna oblongifolia). Sementara cincau hitam berasal dari tanaman Mesona palustris atau janggelan (gel dibaca seperti pada togèl dan gèlèng). 

2.2.Edibel Film
Polimer alam dapat menjadi sumber alternatif untuk pengembangan kemasan karena palatabilitas dan biodegradabilitas. Edibel film muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetis untuk aplikasi makanan dan telah diterima oleh sebagian banyak orang dalam beberapa tahun terakhir karena keunggulan mereka dari film sintetis. Keuntungan utama dari edibel film dibanding dengan sintetis tradisional adalah edibel film dapat dimakan langsung dengan produk. Tidak ada bagian yang dapat dibuang dan bahkan jika tidak dikonsumsi edibel film masih ramah lingkungan.
Edibel film dapat meningkatkan sifat organoleptik makanan kemasan asalkan mengandung berbagai komponen (perasa, pewarna, pemanis). Penggunaannya didasarkan pada polimer alam dan grade bahan aditif makanan. Lapisan dalam edibel film merupakan salah satu parameter penting dalam pembuatannya. Produk makanan biasanya dilapisi dengan mencelupkan atau penyemprotan, membentuk lapisan tipis pada permukaan makanan yang bertindak sebagai membran semipermeabel, yang berguna untuk mengontrol hilangnya kelembaban atau / dan menekan transfer gas. Film-film juga berfungsi sebagai pembawa agen antimikroba dan antioksidan. Produksi edibel film menyebabkan berkurangnya limbah dan polusi, namun permeabilitas dan sifat mekanik umumnya kurang baik daripada film sintetik. 
Sifat-sifat Edible film Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993). a. Ketebalan Film (mm) Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile (Mc Hugh, et.al.,1993). b. Tensile strength (Mpa) dan Elongasi (%) Pemanjangan didefinisikan sebagai prosentase perubahan panjang film pada saat film ditarik sampai putus (Krochta dan Mulder Johnston,1997). Menurut Krochta dan De Mulder Johnston (1997), kekuatan regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang. c. Kelarutan Film Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam (Gontard, 1993). d. Laju Transmisi Uap Air Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin   (Gontard, 1993) Menurut Syarief, et.al (1989),
faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah :
1) Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil dari pada polietilen artinya gas atau uap air lebih mudah menembus polipropilen daripada polietilen.
2) Ada tidaknya " cross linking" misalnya pada konstanta
3) Suhu
4) Ada tidaknya plasticizer misal air
5) Jenis polimer film
6) Sifat dan besar molekul gas
7) Solubilitas atau kelarutan gas
 Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kekuatan film menahan kerusakan bahan selama pengolahan; sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993).



2.3. Bahan Yang Digunakan dalam Edible Coating dan Edible Film
Beranekaragam bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi edibel film danedible coating, tetapi secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga kategori:
(1) Polisakarida,
(2) Protein dan
(3) Lipid
Keberagaman fitur struktural polisakarida menunjukkan perbedaan komposisi monosakarida, jenis monosakarida, bentuk rantai dan derajat polimerisasi, sehingga mempengaruhi sifat fisik edibel. Polisakarida, yang tersedia secara komersial untuk digunakan dalam makanan dan non industri makanan sebagai stabilisator, penebalan dan gelling agen, inhibitor kristalisasi, dan agen encapsulating, dll. Polisakarida utama yang digunakan dalam edibel film dan pelapis edibel adalah kitosan, pati, alginat, karagenan, modifikasi selulosa, pektin, pullulan, kitosan, gellan gum, xanthan gum, dll

2.4  Bahan Pembentuk Film
2.4.1.Bahan Hidrocolloidal
Hidrocolloidal adalah polimer hidrofilik nabati, hewani, berasal dari mikroba atau sintetis, yang umumnya mengandung banyak gugus hidroksil dan mungkin polielektrolit (misalnya alginat, karagenan, karboksimetilselulosa, gum arabic, pektin dan xanthan). Semua hydrocolloids digunakan sepenuhnya atau sebagian untuk meningkatkan viskositas fase kontinyu (fasa air) yaitu sebagai pembentuk gel atau pengental. Hidrocolloidal juga dapat digunakan sebagai pengemulsi karena efeknya pada menstabilkan emulsi berasal dari peningkatan viskositas fase berair edible film.
2.4.2.Film Polisakarida
Film polisakarida terbuat dari pati, alginat, selulosa eter, kitosan, karagenan, atau pectins dan memberikan kekerasan, kerenyahan, kekompakan, kualitas penebalan, viskositas, kelengketan, dan gel pembentuk kemampuan untuk berbagai film. Film polisakarida juga dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan makanan dengan mencegah dehidrasi, ketengikan oksidatif, dan permukaan kecoklatan.

2.4.3.Film Berbasis Polisakarida
a. Pati
Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin, terutama yang berasal dari biji-bijian sereal seperti jagung (Jagung), dengan sumber terbesar dari pati. Sumber lain yang umum digunakan adalah gandum, kentang, tapioka dan beras. Pati adalah cadangan karbohidrat utama dalam umbi tanaman dan endosperm biji di mana ditemukan berbentuk butiran, masing-masing biasanya mengandung beberapa juta molekul amilopektin disertai dengan molekul amilosa yang lebih kecil. Amilosa bertanggung jawab atas film forming kapasitas pati. Film dari pati jagung atau tepung kentang memiliki kadar amilosa tinggi yang lebih stabil selama proses penuaan. film berbasis Karakteristik fisik dari pati mirip dengan film plastik karena tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak beracun, semi-permeabel terhadap karbon dioksida, dan sebagai penghalang oksigen.
b.Alginat
Alginat berasal dari rumput laut dan miliki sifat yang untuk membentuk film yang membuat alginat sangat berguna dalam aplikasi film kemasan untuk makanan. Alginat memiliki potensi untuk membentuk film biopolimer atau komponen lapisan karena bersifat unik, yang berguna untuk penebalan, menstabilkan, menangguhkan, pembentuk, memproduksi gel, dan menstabilkan emulsi. Kation divalen (kalsium, magnesium, mangan, aluminium, atau besi) yang digunakan sebagai gel pembentuk dalam pembentukan film alginat. Edible film yang dibuat dari alginat akan menghasilkan film yang kuat namun tidak tahan terhadap air termasuk golongan hidrofilik alam.


 c.Karagenan
Karagenan adalah polimer yang larut dalam air dengan rantai linier galactans sebagian sulfat, yang memiliki potensi tinggi sebagai bahan pembentuk film. Polisakarida ini diekstrak dari dinding sel berbagai rumput laut merah (Rhodophyceae). Film yang terbuat dari karagenan tidak jernih apabila dibandingkan dengan film yang terbuat dari pati.
d. Selulosa Derivatif
Selulosa Derivatif adalah polisakarida yang terdiri dari rantai linear β unit glukosidik dengan metil, substituen hidroksipropil atau karboksil. Namun, selulosa derivatif memiliki kadar uap air yang kecil karena memiliki sifat hidrofilik yang dimiliki oleh polisakarida dan tidak memiliki sifat mekanik.Pektin adalah kelompok polisakarida struktural asam, yang ditemukan dalam buah dan sayuran terutama dari kulit jeruk dan apel. Kelompok polisakarida anionik kompleks ini terdiri dari residu asam.
e.  Agar
Agar adalah koloid hidrofilik yang terdiri dari campuran agarose dan agaropectin yang memiliki kemampuan untuk membentuk gel reversibel hanya dengan pendinginan larutan panas. Digunakan secara ekstensif dalam media mikrobiologi untuk menunjukkan karakteristik yang membuatnya berguna untuk coating. Agar telah digunakan secara luas sebagai pembentuk gel dalam industri makanan.
f. Kitin/Kitosan
Kitosan merupakan polimer yang bersifat biodegradable, berasal dari kitin dan kerangka organik utama substansi dari cangkang chrustasea. Kitin adalah polimer alami dan tidak beracun yang melimpah di alam setelah selulosa. Sifat yang dimiliki kitosan adalah dapat membentuk film tanpa penambahan aditif, pameran oksigen yang baik dan permeabilitas karbon dioksida, serta sifat mekanik yang baik dan aktivitas anti mikroba terhadap bakteri, ragi, dan jamur . Namun, kelemahan utama dari kitosan adalah susah terlarut dalam larutan netral. Kitosan dapat membentuk film transparan untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur penyimpanan produk makanan.
g.Getah
Getah dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu getah eksudat, getah ekstraktif (dari endosperm beberapa benih atau diekstrak dari kayu) dan getah fermentasi mikroba (Xanthan). Dalam persiapan pembentukan edibel, guar gum (E 412) digunakan sebagai pengikat air, stabilizer dan viskositas pembangun. Gum arabic (E 414), karena kelarutannya dalam air panas atau dingin, adalah yang paling kental pada getah hidrokoloid. Xanthan gum (E 415) adalah mudah terdispersi dalam air, maka konsistensi yang tinggi diperoleh dengan cepat dalam sistem panas dan dingin. Campuran guar, getah Arab dan xanthan disediakan pelapis seragam dengan baik yang melekat dan meningkatkan adhesi dalam adonan basah. Getah mesquite membentuk film dengan sifat penghalang uap air yang sangat baik ketika sejumlah kecil lipid yang ditambahkan dalam formulasi (Diaz-Sobac, 2002).

2.5.Metode Aplikasi dari Edibel Film dan Edible Coating
a. Dipping
Saat ini, pencelupan adalah metode umum untuk menerapkan pelapisan pada buah dan sayuran. Lapisan ini dibuat dengan mencelupkan dalam larutan coating dengan properti seperti densitas, viskositas dan tegangan permukaan, serta kecepatan penarikan makanan dari larutan pelapis. Umumnya makanan dicelupkan ke dalam solusi film pembentuk antara 5 dan 30 detik.
b. Rushing
Metode brushing untuk mengaplikasikan film kepada biji segar dan stroberi lebih baik daripada metode membungkus dan mencelupkan dalam hal mengurangi hilangnya kelembaban.


c.Spraying
Pelapisan dengan penyemprotan adalah metode konvensional yang umumnya digunakan ketika coating berbentuk larutan yang tidak terlalu kental. Memang, cairan yang sangat kental tidak dapat atau tidak mudah disemprot. Jadi hanya teknik pencelupan dapat diterapkan memberikan ketebalan tinggi pada pelapis. Parameter kualitas lapisan tergantung pada pistol semprot dan nosel suhu, udara dan cairan laju alir, kelembaban udara yang masuk dan dari larutan polimer. Saat ini telah ada sistem semprot yang terprogram secara otomatis. Sistem penyemprotan klasik dapat menghasilkan semprotan baik dengan relatif distribusi penurunan ukuran sampai dengan 20 m. Selanjutnya, faktor lain yang berbeda sangat penting dalam pembentukan film polimer dengan sistem penyemprotan, seperti waktu pengeringan, suhu pengeringan, metode pengeringan, dll
d.Solvent Casting
Solvent Casting adalah teknik yang paling digunakan untuk membentuk hidrokoloid edible film. Air atau etanol atau dispersi dari bahan nabati yang tersebar pada substrat yang cocok dan kemudian dikeringkan. Selama pengeringan film, penguapan pelarut menyebabkan penurunan kelarutan polimer sampai rantai polimer menyesuaikan diri untuk membentuk film. Pemilihan substrat penting untuk mendapatkan film, yang dapat dengan mudah dikupas tanpa kerusakan setelah pelarut diuapkan. Umumnya, film yang dikeringkan selama beberapa jam dalam oven berventilasi. Kadar air optimum (5 – 10% b / v) yang diinginkan dalam film kering. Struktur film tergantung pada kondisi pengeringan (suhu dan kelembaban relatif).
e.Extrusion
Penerapan teknologi ekstrusi untuk edible film, seperti film pati, adalah pilihan lain. Proses ekstrusi didasarkan pada sifat termoplastik polimer saat plastik dipanaskan di atas suhu transisi kaca film di bawah konten-kondisi air rendah. Proses ekstrusi produk polimer perlu penambahan plasticizer seperti polietilena glikol, sorbitol dalam jumlah 10% sampai 60% b / b. Dibandingkan dengan metode solvent castingMetode ekstrusi menarik untuk proses industri karena tidak memerlukan penambahan pelarut dan waktu penguapan.

2.6.Efek Penggunaan Edibel Film Pada Makanan dan Aplikasinya
Dalam rangka untuk memilih lapisan edibel diterapkan pada produk makanan. Dua langkah kriteria yang diikuti tahap pertama, untuk mengevaluasi nilai kelembapan pada film (pelapis dengan nilai-nilai yang terbaik adalah diseleksi); dalam tahap kedua, untuk menentukan nilai dari properti lainnya yang relevan (misalnya air tinggi atau rendah uap, oksigen atau permeabilitas karbon dioksida, ketahanan mekanik yang baik, dll) tergantung pada jenis makanan dan pada efek yang diinginkan. Hal ini memungkinkan memperbaiki seleksi yang dilakukan di tahap pertama dan berakhir dengan formulasi terbaik untuk aplikasi tertentu.
Lapisan stroberi dikarakterisasi dalam hal sifat fisik stroberi (kemampuan kelembaban dan kemudian permeabilitas oksigen) dalam rangka mengoptimalkan komposisi pelapis. Dalam kedua kasus, untuk meningkatkan wettability dari larutan pelapisan, Efek dari penerapan pelapis ini untuk stroberi segar dinilai dengan menentukan perubahan warna, ketegasan, penurunan berat badan, padatan terlarut dan mikrobiologi pertumbuhan. Hasil menunjukkan bahwa edible coating mengarah pada peningkatan stroberi ketegasan kehilangan, penurunan kehilangan massa dan laju pertumbuhan mikroba.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Bahan dan Alat
a.       Bahan
Bahan utama dalam penelitian ini berupa daun cincau hijau jenis Premna Oblongifolia Merr. (varietas cincau pohon). Pada tahap aplikasi dengan kemasan edible film menggunakan buah Anggur hijau. Tahap pengekstraksian pektin cincau hijau menggunakan bahan berupa etanol 96% dan aquades.
Bahan yang digunakan untuk analisis proximat pektin Cincau hijau hasil ekstraksi yaitu petroleum eter, H2SO4 pekat, HCL 0,02 N, asam borat 4%, dan aquades. Bahan yang digunakan untuk pembuatan edible film antara lain: pektin cincau hijau hasil ekstraksi, tapioka, CaSO4, aquades, dan gliserol. Bahan yang digunakan dalam karakterisasi edible film adalah aquades, larutan garam 40 %, anggur hijau segar, dan silica gel.

b.      Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan bubuk adalah blender, oven, Ayakan 80 mesh, beaker glass. Alat yang digunakan dalam ekstraksi pektin cincau hijau adalah blender, beaker glass, stirrer, thermometer, pengaduk, kain saring, ayakan 100 mesh. Analisis pectin cincau hijau (hasil ekstraksi) antara lain oven, eksikator, muffle, kompor listrik. Pada pembuatan edible film, alat yang digunakan ialah: timbangan analitik, gelas ukur, beker glass, plat plastik, hot plate, magnetic Stirer, pengaduk, dan oven. Alat yang digunakan untuk karakterisasi edible film adalah micrometer Mitutoyo (ketelitian 0,001), Lloyd's Universal Testing Instrument 50 Hz model 1000 s, stoples plastik dan cawan WVTR. Alat yang digunakan dalam analisis permeabilitas uap air film dan nilai susut berat ialah: cawan WVTR, stoples, hair driyer, dan timbangan analitik.

3.2    Tahapan Penelitian
Ada lima tahapan utama dalam penelitian ini yaitu: penyiapan bahan (pembuatan bubuk cincau hijau, ekstraksi pektin daun cincau hijau), karakterisasi pektin hasil ekstraksi, pembuatan edible film, karakterisasi edible film. Berikut adalah gambar diagram alir rencana penelitian pembuatan edible film dari pektin Cincau hijau:
Gambar 3.1 Diagram Alir Rencana Penelitian

1.        Penyiapan Bahan
a.       Pembuatan Bubuk Cincau Hijau (Premna Oblongifolia Merr.,)
 Pembuatan bubuk cincau ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Koswara (2008), pembuatan bubuk cincau diawali dengan mencuci daun cincau segar dengan air suhu kamar, kemudian dikeringkan dengan oven 50oC selama 18 jam atau dijemur dari jam 08.00 sampai 15.00 selama tiga hari (total 21 jam). Kemudian daun yang sudah kering tersebut digiling dan diayak dengan ayakan berdiameter 0,5 milimeter.
Gambar 3.2 Diagram Alir pembuatan bubuk

b.      Tahap Ekstraksi Pektin
 Metode ekstraksi pektin yang dilakukan menggunakan metode dari pembuatan edible film ekstrak daun janggelan yang telah dimodifikasi yaitu tanpa perlakuan pemanasan, bubuk cincau hijau sebanyak 25 gram ditambah dengan 500 ml aquadest dalam beaker glass 1000 ml pada suhu 25oC, dan diaduk-aduk sampai rata dengan menggunakan magnetic stirrer untuk membantu dalam proses ekstraksi. Kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring, sehingga diperoleh filtrat berupa cairan dan ampas. Filtrat selanjutnya ditambah dengan etanol 96% dengan perbandingan 1:1. Diperoleh dua fraksi, yaitu gel yang terdapat diantara cairan supernatan. Dilakukan penyaringan untuk memisahkan dua bagian tersebut. gel yang diperoleh dan bebas dari air dan impurities lainnya, selanjutnya dikeringkan dengan cabinet driyer pada suhu 50OC selama 5 jam. Diperoleh bentuk lembaran - lembaran kering ekstrak daun cincau hijau (pektin). Kemudian diblender sampai halus dan dilakukan pengayakan dengan ayakan 100 mesh.
Gambar 3.3 Diagram Alir Ekstraksi Pektin
2.      Karakterisasi Bubuk Cincau Hijau dan Pektin Cincau Hijau
Pektin cincau hijau hasil ekstraksi selanjutnya dianalisa proximat yang meliputi analisa kadar air dan kadar lemak, analisis protein dengan penentuan N total cara Mikro Kjehdahl yang dimodifikasi dengan Kjeltec, analisis kadar abu.

3.      Pembuatan Edible film Pektin Cincau Hijau
Pada pembuatan edible film ini, dengan variasi konsentrasi pektin cincau hijau (0%, 10%, 20%, 30% b/b berat tapioka), diagram alir pembuatan edible film komposit pektin cincau hijau dapat dilihat pada gambar 3.4. Dua jenis larutan awalnya disiapkan terlebih dahulu, yaitu pertama adalah larutan yang berisi larutan pektin cincau hijau dengan konsentrasi 0%, 10%, 20%, 30% (b/b tapioka), CaSO4 0,05% (b/b pektin cincau). Pektin cincau hijau, dan CaSO4 0,05% (b/b pektin cincau) dilarutkan dalam 150 ml aquadest. Larutan kedua berisi 4 gram tapioka yang dilarutkan dalam 150 ml aquadest, dipanaskan dalam hot plate selama 30 detik (sampai warnanya berubah menjadi bening), dan dilanjutkan dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer selama 30 detik. Kemudian larutan tapioca dituang ke dalam beaker glass yang telah berisi larutan pektin cincau hijau dan CaSO4 0,05%. Selanjutnya gliserol 0,87% (b/v) atau 2,6 gram ditambahkan pada larutan yang telah mengandung larutan pektin cincau hijau, CaSO4 0,05%, dan tapioka, kemudian diaduk dan dipanaskan terus sampai 750C (dipertahankan selama 5 menit), selanjutnya dipanaskan sambil diaduk hingga suhu 800C-850C (dipertahankan selama 10 menit). Larutan dicetak dan dikeringkan pada suhu 60OC selama 12 jam.
Gambar 3.4 Diagram Alir pembuatan Edible film

4.      Karakterisasi Edible film
Pengujian karakter fisik edible film ini antara lain:
a.       Ketebalan Film
b.      Pemanjangan Film
c.       Kuat Regang Putus Film
d.      Kelarutan Film



BAB IV
 PEMBAHASAN

4.1    Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (Premna oblongifolia
Merr.)
4.1.1        Hasil karakteristik kimia dan randemen bubuk cincau hijau
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) yang terlebih dahulu dikeringkan menjadi bubuk sebelum diekstraksi pektinnya. Bubuk cincau hijau yang diperoleh selanjutnya diuji melalui analisis proksimat dan dihitung rendemennya. Analisa proksimat ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia dari bubuk cincau hijau yang dihasilkan sebelum diekstraksi pektinnya. Hasil analisa kimia dan penghitungan randemen bubuk cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Karakteristik bubuk cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.)

Kadar wet basis (%)
Kadar dry basis (%)
Air
Protein (N Total x 6,25)
Lemak
Abu
Karbohidrat (by different)
Serat kasar
Randemen

6,71
16,81
1,22
7,54
67,72
18,88
27,5
7,24
17,25
1,23
8,16
66,12
23,27
-

Kandungan air dalam cincau hijau segar tergolong tinggi yaitu lebih dari 66% (Pitojo dan Zumiyati, 2005), namun setelah melalui proses pengeringan, sebagian air dari daun cincau hijau ikut menguap, sehingga kandungan air dari cincau hijau bubuk dalam penelitian ini menjadi 6,71%. Menurut Haryadi (1991), kandungan air pada cincau hijau yang dikeringkan berubah dari 71,1% menjadi 8,3%. Kandungan air cincau hijau apabila dibandingkan dengan kandungan air cincau hitam yang memiliki kandungan air sebesar 98% (Astawan dan Andreas, 2008); maka kandungan air cincau hijau jauh lebih rendah.  
Pengeringan daun cincau hijau menjadi cincau bubuk, menurut Haryadi (1991), akan lebih memudahkan pengujian sifat fungsionalnya; namun dengan adanya pengeringan juga dapat mengakibatkan penurunan kemampuan daun cincau untuk membentuk gel. Pada penelitian ini dihasilkan kandungan protein dari cincau hijau bubuk sebanyak 16,81%, sedangkan kandungan lemaknya sebesar 1,22%. Menurut Pitojo dan Zumiyati (2005), kandungan protein dan lemak dari cincau hijau berturut - turut adalah 6% dan 1%. Kandungan protein cincau hijau dalam penelitian ini tergolong lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein dalam penelitian Pitojo dan Zumiyati (2005).
Serat kasar yang terkandung dalam cincau bubuk adalah sebesar 18,88%, sedangkan kandungan karbohidrat dalam cincau bubuk adalah sebesar 67,72%. Apabila dibandingkan dengan kandungan karbohidrat dari cincau hitam yaitu sebesar 26% (Astawan dan Andreas, 2008), maka kandungan karbohidrat dari cincau hitam jauh lebih tinggi. Kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam cincau bubuk tergolong lebih tinggi daripada kandungan gizi yang lain; hal ini disebabkan komponen utama yang terkandung dalam cincau hijau adalah polisakarida. Menurut Artha dalam Nurdin dan Suharyono (2007), komponen utama ekstrak cincau hijau yang membentuk gel adalah polisakarida pektin, karena kandungan utamanya adalah pektin, maka cincau hijau dianggap sebagai sumber serat yang baik.

4.1.2        Hasil karakteristik kimia dan randemen pektin cincau hijau
Setelah diperoleh bubuk cincau hijau, selanjutnya dilakukan ekstraksi pectin cincau hijau. Pektin yang diperoleh dianalisis karakteristik kimianya melalui analisis proksimat dan dilakukan penghitungan rendemen. Hasil analisa proximat dan randemen pektin cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.)
Tabel 4.2 Karakteristik pektin cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.)

Kadar wet basis (%)
Kadar dry basis (%)
Air
Protein
Lemak
Abu
Karbohidrat (by different)
Serat kasar
Randemen pektin dari
cincau bubuk

5,09
11,06
0,35
28,5
55,00
12,15
15,2
5,37
11,25
0,351
39,86
43,17
13,10
-

Kandungan protein dan lemak dari pektin pada hasil penelitian ini, berturut-turut adalah 11,06% dan 0,35%. Sedangkan kandungan abu, serat kasar dan karbohidrat 28,5%; 12,5%; dan 55,00%. Dapat terlihat dari hasil penelitian bahwa kandungan abu dari pektin cincau hijau lebih banyak dari bubuk cincau hijau. Menurut Haryadi (1991), disebutkan bahwa cincau dalam bentuk bubuk yang bebas dari klorofil hasil ekstraksi terdiri atas sebagian besar polisakarida dengan sedikit bahan lain. Warna hijau dari cincau hijau disebabkan oleh adanya klorofil. Menurut Meyer dalam Haryadi (1991), klorofil dapat larut dalam kebanyakan pelarut organik, sehingga dengan demikian, penggunaan etanol sebagai pelarut organik akan memucatkan warna dari ekstrak cincau kering. Selain itu, menurut Eskin (1971) dalam Haryadi (1991), hal tersebut dapat menurunkan mutu dan kenampakan warna dari cincau hijau. Berkurangnya kandungan klorofil tersebut dapat mengakibatkan warna bubuk pektin yang dihasilkan berwarna kekuningan. Penelitian Kurniawan (2005) dalam Nurdin dan Suharyono (2007) menunjukkan randemen hidrokoloid yang dihasilkan dengan proses ekstraksi dengan asam sitrat tanpa proses pemurnian dengan etanol berkisar antara 16,93% – 23,91%, sedangkan hasil penelitian Krisnawati (2004) menghasilkan randemen sekitar 21,414 – 28,99%. Apabila dibandingkan dengan randemen pektin yang dihasilkan pada penelitian ini, maka randemen pektin cincau hijau hasil pemurnian dengan etanol lebih rendah. Nurdin dan Suharyono (2007), hal ini dapat diketahui bahwa proses pemurnian menyebabkan penurunan randemen. Asam dapat menyebabkan hidrolisis terhadap struktur komponen pembentuk gel cincau pohon, sehingga diduga ada sebagian komponen pembentuk gel cincau pohon hasil hidrolisis yang larut dalam air maupun etanol pengekstrak yang lolos dari kain saring selama proses penyaringan.

4.2    Karakterisasi Edible film Cincau Hijau
4.2.1        Pengaruh konsentrasi pektin terhadap ketebalan edible film
Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemasnya. Ketebalan film akan mempengaruhi permeabilitas gas. Semakin tebal edible film maka permeabilitas gas akan semakin kecil dan melindungi produk yang dikemas dengan lebih baik. Ketebalan juga dapat mempengaruhi sifat mekanik film yang lain, seperti tensille strength dan elongasi. Namun dalam penggunaannya, ketebalan edible film harus disesuaikan dengan produk yang dikemasnya. Hasil penelitian ketebalan edible film cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi pectin cincau hijau menyebabkan kenaikan total padatan terlarut dalam larutan film, sehingga menyebabkan ketebalan film semakin meningkat.
Pektin pada konsentrasi 30% memberikan nilai ketebalan tertinggi, sedangkan pada konsentrasi pektin 10% memberikan nilai ketebalan terendah namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi pektin 0% dan pektin 20%. Pada penelitian ini diketahui bahwa edible film pektin cincau hijau mempunyai ketebalan 0,127-0,145 mm. Analisis statistic menunjukan tidak beda nyata antar perlakuan. Apabila dibandingkan dengan ketebalan film pada edible film komposit maizena glukomanan yang mempunyai ketebalan 0,1613-0,182 mm pada penelitian yang dilakukan oleh Siswanti (2008), maka edible film pektin cincau hijau ini jauh lebih tipis. Namun apabila dibandingkan dengan edible film yang dibuat dari komposit pektin albedo semangka dan tapioka dari penelitian yang dilakukan oleh Anugrahati (2001), yang memiliki ketebalan antara 0,105 mm - 0,120 mm serta hasil penelitian edible film yang dibuat komposit protein biji kecipir dan tapioka oleh Poeloengasih (2001), yang memiliki ketebalan 0,096 mm - 0,104 mm serta hasil penelitian murdianto (2005), edible film dari ekstrak janggelan dengan ketebalan 0,073-0,085 mm maka edible film pektin cincau hijau jauh lebih tebal. Murdianto (2005), menyebutkan bahwa perbedaan ketebalan antara berbagai jenis film tersebut disebabkan komposisi formula film yang berbeda.

4.2.2        Pengaruh konsentrasi pektin terhadap kelarutan edible film
Kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas (Nurjannah, 2004). Pada kenyataannya semakin tinggi konsentrasi pektin yang ditambahkan, maka akan semakin meningkatkan tingkat kelarutan edible film. Murdianto (2005) menyebutkan bahwa penambahan komponen yang bersifat hidrofob mengakibatkan film memiliki kelarutan yang rendah; sedangkan Siswanti (2008), menyebutkan bahwa peningkatan jumlah komponen yang bersifat hidrofilik diduga menyebabkan peningkatan prosentase kelarutan film.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat kelarutan dari edible film cincau hijau berkisar antara 64,9%-77,4%. Namun dari hasil penelitian tersebut di atas, tidak terdapat perbedaan nyata pada setiap perlakuan konsentrasi. Edible film cincau hijau bersifat hidrofilik, sehingga lebih mudah menyerap air. Apabila dibandingkan dengan tingkat kelarutan pada edible film cincau hitam pada penelitian yang dilakukan oleh Murdianto (2005) yang memiliki tingkat kelarutan 44,9%-72,9%, dan edible film komposit glukomanan-maizena pada penelitian yang dilakukan oleh Siswanti (2008) dengan tingkat kelarutan berkisar antara 40,6% - 50,6%; maka edible film pektin cincau hijau ini memiliki tingkat kelarutan yang lebih besar.

4.2.3        Pengaruh konsentrasi pektin terhadap tensile strength edible film
Hasil penelitian menunjukan bahwa, peningkatan konsentrasi pektin cincau hijau, meningkatkan tensile strength (kekuatan regang putus) edible film yang dihasilkan, berdasarkan hasil penelitian diperoleh kisaran nilai kuat regang putus antara 0,70 Mpa - 2,53 Mpa dan berdasarkan hasil uji statistik, terdapat perbedaan kekuatan regang putus yang signifikan antar keempat jenis edible film. variasi konsentrasi pektin cincau hijau yang ditambahkan (10%, 20%, 30%) berpengaruh nyata terhadap kekuatan regang putus edible film cincau hijau yang dihasilkan. Hal ini disebabkan, semakin meningkatnya konsentrasi pektin cincau hijau yang ditambahkan, maka gaya interaksi antar matriks molekul yang terdapat dalam edible film semakin kuat, sehingga meningkatkan kekuatan dari edible film yang dihasilkan. Karena perbedaan komposisi dan konsentrasi akan mempengaruhi kuat regang putus yang dihasilkan. Edible film dengan kekuatan tarik tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari ganggunan mekanis dengan baik, sedangkan kekuatan tarik film dipengaruhi oleh formulasi bahan yang digunakan.

4.2.4        Pengaruh konsentrasi pektin terhadap elongasi edible film
elongasi merupakan prosentase perubahan panjang film saat ditarik. Perubahan penjang dapat dilihat pada film robek, semakin tinggi konsentrasi pektin yang digunakan, maka semakin menurunkan elongasi yang dihasilkan.



BAB V
PENUTUP

5.1       Kesimpulan
1.      Cincau adalah tanaman yang daunnya menghasilkan gel (jeli), semacam agar-agar untuk bahan minuman dan berkhasiat sebagai antipiretik (menurunkan suhu badan atau yang populer sebagai panas dalam), dan stomakikum (merangsang nafsu makan).
2.      Edibel film merupakan alternatif untuk plastik sintetis untuk aplikasi makanan dan telah diterima oleh sebagian banyak orang dalam beberapa tahun terakhir karena keunggulan mereka dari film sintetis.
3.      Pengujian karakter fisik edible film ini antara lain:
a.       Ketebalan Film
b.      Pemanjangan Film
c.       Kuat Regang Putus Film
d.      Kelarutan Film
4.      Kandungan protein dan lemak dari pektin pada hasil penelitian ini, berturut-turut adalah 11,06% dan 0,35%. Sedangkan kandungan abu, serat kasar dan karbohidrat 28,5%; 12,5%; dan 55,00%.








DAFTAR  PUSTAKA

Karina Rachmawati Arinda.  2009.  Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (Premna Oblongifolia. Merr) Untuk Pembuatan Edible Film. Universitas Sebelas Maret : Surakarta.


Kontak : Muhammad Ilham (Ilhamchelsea1307@gmail.com)
              +6285362462716
              7CDFDDD0