KATA PENGANTAR
Segala puji
penulis panjatkan kehadirat Tuham Yang
Maha Esa, yang mana telah memberikan rahmat dan
karunianya serta kesehatan jasmani dan rohani sehingga penyusun dapat
menyalesaikan tugas pembuatan makalah Agroindustri dengan judul Pengolahan Hasil Hutan Pengolahan Tumbuhan Cincau Hijau Menjadi Kemasan Edible Film.
Dalam penulisan
makalah ini penyusun telah banyak menerima bantuan dari beberapa pihak baik
secara moril maupun meteril. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir.
Mariani Sebayang, M.Si selaku dosen pembimbing pada mata kuliah Agroindusri.
2. Orang
tua dari seluruh kelompok penyusun yang terus memberikan dukungan kepada
kelompok penulis.
3. Teman
– teman dari seluruh kelompok penyusun yang telah ikut memberikan bantuan dan
support kepada kelompok penyusun.
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
didalam makalah ini. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang sifatnya membangun guna perbaikan di masa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi diri penyusun
sendiri maupun bagi para pembaca.
Terima Kasih.
Medan,
Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR
ISI....................................................................................................... ii vi
BAB I.... PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1
Latar Belakang Masalah................................................................ 1
1.2 Rumusan
Masalah.......................................................................... 2
1.3 Tujuan
Penulisan Makalah............................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 4
2.1 Tanaman Cincau............................................................................ 4
2.2 Edible Film.................................................................................... 5
2.3 Bahan Yang Digunakan Dalam Edible Film dan Coating............ 7
2.4 Bahan Pembentuk Film................................................................. 7
2.4.1
Bahan
Hidrocolloidal......................................................... 7
2.4.2
Film
Polisakarida............................................................... 7
2.4.3
Film Berbasis
Polisakarida................................................. 8
2.5 Metode Aplikasi Dari Edible Film Dan Coating........................... 10
2.6 Efek Penggunaan Edible Film Pada Makanan Dan
Aplikasinya.. 12
BAB III METODE
PENELITIAN................................................................ 13
3.1 Bahan Dan Alat............................................................................. 13
3.2
Tahapan
Penelitian......................................................................... 14
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................ 19
4.1
Ekstraksi Dan Karakterisasi
Pektin Cincau Hijau......................... 19
4.1.1
Hasil
Karakterisasi Kimia Dan Randemen Bubuk Cincau 19
4.1.2
Hasil
Karakterisasi Kimia Dan Randemen Pektin Cincau. 20
4.2
Karakterisasi
Edible Film Cincau Hijau........................................ 22
4.2.1
Pengaruh
Konsentrasi Pektin Terhadap Ketebalan Edible 22
4.2.2
Pengaruh Konsentrasi
Pektin Terhadap Kelarutan Edible. 23
4.2.3
Pengaruh
Konsentrasi Pektin Terhadap Tensile Strengh... 24
4.2.4
Pengaruh
Konsentrasi Pektin Terhadap Elogasi Edible .... 24
BAB IV PENUTUP......................................................................................... 26
5.1
Kesimpulan.................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................27
LAMPIRAN.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanaman cincau termasuk tanaman asli
Indonesia dan mempunya nama lain diantaranya Camcao, Juju, Kepleng (Jawa);
Camcauh, Tahulu (Sunda). Tanaman ini tumbuh menyebar di daerah Jawa Barat
(sekitar Gunung Salak, Batujajar, Ciampea, dan Ciomas), Jawa Tengah (Gunung
Ungaran, Gunung Ijen), Sulawesi, Bali, Lombok, dan Sumbawa.
Ada empat jenis tanaman cincau
menurut yaitu cincau hijau baik jenis cincau hijau rambat (Cyclea Barbata)
maupun cincau hijau pohon (Premna oblongifolia), cincau perdu (Premna
serratifolia), cincau hitam (mesona palustris), dan cincau minyak
(Stephania hermandifolia). Dari keempat tanaman tersebut yang
dikenal sebagian besar masyarakat adalah cincau hijau dan cincau perdu. Namun,
cincau yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah cincau hijau, cincau
perdu, dan cincau hitam. Bentuk fisik ketiga tanaman ini berbeda satu sama
lain. Namun masyarakat Indonesia amat menggemari jenis cincau hijau sebab
daunnya bersifat tipis, dan lemas, sehingga lebih mudah diremas untuk dijadikan
gel atau agar-agar. Cincau hijau pohon (Premna oblongifolia Mier),
merupakan bahan makanan tradisional yang telah lama dikenal masyarakat dan
digunakan sebagai isi minuman segar. Cincau tersebut disenangi masyarakat
karena berasa khas, segar, dingin, serta harganya
murah.
Dikabupaten Wonogiri tepatnya di
kecamatan Bulukerto, banyak dibudidayakan tanaman janggelan dan cincau hijau
yaitu jumlah produksi 6.000 ton per tahunnya dengan luas lahan 1.000 hektar.
Permintaan cincau cukup besar, bahkan mencapai Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat,
dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Cincau hijau kaya akan karbohidrat,
polifenol, saponin, dan lemak; tidak ketinggalan kalsium, fosfor, vitamin A dan
B. Komponen utama ekstrak cincau hijau yang membentuk gel adalahpolisakarida
pektin yang bermetoksi rendah. Pektin tersebut merupakan kelompok hidrokoloid
pembentuk gel yang apabila diserut tipis-tipis mempunyai sifat amat rekat
terhadap cetakan dan tembus pandang, sehingga berpotensi untuk dibuat sebagai edible
film. Sebab diketahui bahwa komponen utama penyusun edible film ada
tiga kelompok, yaitu hidrokoloid, lemak dan komposit. Penggunaan pektin dari
ekstrak cincau hijau dapat dikombinasikan dengan tepung tapioka, sehingga
menghasilkan film yang
bersifat transparan serta kaku.
Edible film dari tapioca mamiliki sifat mekani yang hampir sama
dengan plastik dan kenampakannya transparan.
Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari
bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating)
atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai
barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya,
dan zat larut), dan atau sebagai carrier bahan makanan atau bahan tambahan,
serta untuk mempermudah penanganan makanan.
Selain hal-hal tersebut di atas,
karena mengandung warna hijau yang alami yaitu klorofil, diduga Edible film yang
dihasikan dari pektin cincau hijau, akan menghasilkan warna hijau yang lebih
seragam, sehingga cocok sebagai pengemas buah atau sayur yang berwarna hijau;
seperti anggur hijau.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyediaan bahan untuk pembuatan edible film
dari Cincau Hijau?
2. Bagaimana karakteristik edible film?
3. Bagaimana proses pembuatan edible film Pektin Cincau Hijau?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses penyediaan bahan untuk pembuatan pembuatan edible film
dari Cincau Hijau
2. Untuk mengetahui karakteristik edible film
3. Untuk mengetahui proses pembuatan edible film Pektin Cincau Hijau
4.
Untuk mengetahui edible film .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Cincau
Gb.2.1 Cincau hitam Gb.2.2 Cincau Hijau Gb.2.3.Cincau Hijau
(Mesona
palustris BI) (Premna oblongifolia Merr.) (Cyclea barbata L Miers)
Cincau adalah tanaman yang daunnya
menghasilkan gel (jeli), semacam agar-agar untuk bahan minuman. Agar-agar
cincau terasa segar dan tawar dengan aroma yang sangat khas. Selain lezat dan
menyegarkan, cincau juga berkhasiat antipiretik (menurunkan suhu badan atau yang
populer sebagai panas dalam), dan stomakikum (merangsang nafsu makan). Khasiat
ini disebabkan leh adanya kandungan berbagai alkaloid, yang terdapat dalam
butir hijau daun. Cincau bisa dikonsumsi secara tunggal dengan santan dan gula
merah, bisa pula dengan campuran berbagai macam bahan. Dalam es campur, cincau
dikonsumsi bersamaan dengan aneka buah. Biasanya blewah dan nangka, ditambah
tapai dan bahan-bahan lain sesuai selera. Yang biasa dikonsumsi secara tungal
adalah cincau hijau. Yang dicampur dengan berbagai bahan lain adalah cincau
hitam.
Cincau hijau berasal dari dua jenis tanaman
yang berbeda. Yakni cincau rambat (Cyclea barbata) dan cincau perdu (Premna
oblongifolia). Sementara cincau hitam berasal dari tanaman Mesona
palustris atau janggelan (gel dibaca seperti pada togèl dan
gèlèng).
2.2.Edibel
Film
Polimer alam dapat menjadi sumber alternatif untuk
pengembangan kemasan karena palatabilitas dan biodegradabilitas. Edibel film
muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetis untuk aplikasi makanan dan
telah diterima oleh sebagian banyak orang dalam beberapa tahun terakhir karena
keunggulan mereka dari film sintetis. Keuntungan utama dari edibel film
dibanding dengan sintetis tradisional adalah edibel film dapat dimakan langsung
dengan produk. Tidak ada bagian yang dapat dibuang dan bahkan jika tidak
dikonsumsi edibel film masih ramah lingkungan.
Edibel film dapat meningkatkan sifat organoleptik makanan
kemasan asalkan mengandung berbagai komponen (perasa, pewarna, pemanis).
Penggunaannya didasarkan pada polimer alam dan grade bahan aditif makanan.
Lapisan dalam edibel film merupakan salah satu parameter penting dalam
pembuatannya. Produk makanan biasanya dilapisi dengan mencelupkan atau
penyemprotan, membentuk lapisan tipis pada permukaan makanan yang bertindak
sebagai membran semipermeabel, yang berguna untuk
mengontrol hilangnya kelembaban atau / dan menekan transfer gas. Film-film juga
berfungsi sebagai pembawa agen antimikroba dan antioksidan. Produksi edibel
film menyebabkan berkurangnya limbah dan polusi, namun permeabilitas dan sifat
mekanik umumnya kurang baik daripada film sintetik.
Sifat-sifat Edible
film Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik
menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama
pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi
produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film
meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap
air, dan kelarutan film (Gontard, 1993). a. Ketebalan Film (mm) Ketebalan film
merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam
larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju
transmisi uap air, gas dan senyawa volatile (Mc Hugh, et.al.,1993). b. Tensile
strength (Mpa) dan Elongasi (%) Pemanjangan didefinisikan sebagai prosentase
perubahan panjang film pada saat film ditarik sampai putus (Krochta dan Mulder
Johnston,1997). Menurut Krochta dan De Mulder Johnston (1997), kekuatan regang
putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap
bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan regang putus
berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan
maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang. c.
Kelarutan Film Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari
film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam (Gontard,
1993). d. Laju Transmisi Uap Air Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap
air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu
salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka
permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin (Gontard,
1993) Menurut Syarief, et.al (1989),
faktor-faktor yang
mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah :
1) Jenis film permeabilitas dari
polipropilen lebih kecil dari pada polietilen artinya gas atau uap air lebih
mudah menembus polipropilen daripada polietilen.
2) Ada tidaknya " cross
linking" misalnya pada konstanta
3) Suhu
4) Ada tidaknya plasticizer misal air
5) Jenis polimer film
6) Sifat dan besar molekul gas
7) Solubilitas atau kelarutan gas
Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan
penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kekuatan film menahan kerusakan bahan
selama pengolahan; sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film
melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat
film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi
uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993).
2.3. Bahan Yang Digunakan dalam Edible Coating dan Edible
Film
Beranekaragam bahan-bahan yang digunakan untuk
memproduksi edibel film danedible coating, tetapi secara garis besar
dikelompokkan menjadi tiga kategori:
(1) Polisakarida,
(2) Protein dan
(3) Lipid
Keberagaman fitur struktural polisakarida
menunjukkan perbedaan komposisi monosakarida, jenis monosakarida, bentuk rantai
dan derajat polimerisasi, sehingga mempengaruhi sifat fisik edibel.
Polisakarida, yang tersedia secara komersial untuk digunakan dalam makanan dan
non industri makanan sebagai stabilisator, penebalan dan gelling agen,
inhibitor kristalisasi, dan agen encapsulating, dll. Polisakarida utama yang
digunakan dalam edibel film dan pelapis edibel adalah kitosan, pati, alginat,
karagenan, modifikasi selulosa, pektin, pullulan, kitosan, gellan gum, xanthan
gum, dll
2.4
Bahan Pembentuk Film
2.4.1.Bahan Hidrocolloidal
Hidrocolloidal adalah polimer hidrofilik nabati,
hewani, berasal dari mikroba atau sintetis, yang umumnya mengandung banyak
gugus hidroksil dan mungkin polielektrolit (misalnya alginat, karagenan,
karboksimetilselulosa, gum arabic, pektin dan xanthan). Semua hydrocolloids
digunakan sepenuhnya atau sebagian untuk meningkatkan viskositas fase kontinyu
(fasa air) yaitu sebagai pembentuk gel atau pengental. Hidrocolloidal juga
dapat digunakan sebagai pengemulsi karena efeknya pada menstabilkan emulsi
berasal dari peningkatan viskositas fase berair edible film.
2.4.2.Film Polisakarida
Film polisakarida terbuat dari pati, alginat,
selulosa eter, kitosan, karagenan, atau pectins dan memberikan kekerasan,
kerenyahan, kekompakan, kualitas penebalan, viskositas, kelengketan, dan gel
pembentuk kemampuan untuk berbagai film. Film polisakarida juga dapat digunakan
untuk memperpanjang umur simpan makanan dengan mencegah dehidrasi, ketengikan
oksidatif, dan permukaan kecoklatan.
2.4.3.Film
Berbasis Polisakarida
a.
Pati
Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin,
terutama yang berasal dari biji-bijian sereal seperti jagung (Jagung), dengan
sumber terbesar dari pati. Sumber lain yang umum digunakan adalah gandum,
kentang, tapioka dan beras. Pati adalah cadangan karbohidrat utama dalam umbi
tanaman dan endosperm biji di mana ditemukan berbentuk butiran, masing-masing
biasanya mengandung beberapa juta molekul amilopektin disertai dengan molekul
amilosa yang lebih kecil. Amilosa bertanggung jawab atas film forming kapasitas
pati. Film dari pati jagung atau tepung kentang memiliki kadar amilosa tinggi
yang lebih stabil selama proses penuaan. film berbasis Karakteristik fisik dari
pati mirip dengan film plastik karena tidak berbau, tidak berasa, tidak
berwarna, tidak beracun, semi-permeabel terhadap karbon dioksida, dan sebagai
penghalang oksigen.
b.Alginat
Alginat berasal dari rumput laut dan miliki
sifat yang untuk membentuk film yang membuat alginat sangat berguna dalam
aplikasi film kemasan untuk makanan. Alginat memiliki potensi untuk membentuk
film biopolimer atau komponen lapisan karena bersifat unik, yang berguna untuk
penebalan, menstabilkan, menangguhkan, pembentuk, memproduksi gel, dan
menstabilkan emulsi. Kation divalen (kalsium, magnesium, mangan, aluminium,
atau besi) yang digunakan sebagai gel pembentuk dalam pembentukan film alginat.
Edible film yang dibuat dari alginat akan menghasilkan film yang kuat namun
tidak tahan terhadap air termasuk golongan hidrofilik alam.
c.Karagenan
Karagenan adalah polimer yang larut dalam air
dengan rantai linier galactans sebagian sulfat, yang memiliki potensi tinggi
sebagai bahan pembentuk film. Polisakarida ini diekstrak dari dinding sel
berbagai rumput laut merah (Rhodophyceae). Film yang terbuat dari karagenan
tidak jernih apabila dibandingkan dengan film yang terbuat dari pati.
d. Selulosa Derivatif
Selulosa Derivatif adalah polisakarida yang
terdiri dari rantai linear β unit glukosidik dengan metil, substituen
hidroksipropil atau karboksil. Namun, selulosa derivatif memiliki kadar uap air
yang kecil karena memiliki sifat hidrofilik yang dimiliki oleh polisakarida dan
tidak memiliki sifat mekanik.Pektin adalah kelompok polisakarida struktural
asam, yang ditemukan dalam buah dan sayuran terutama dari kulit jeruk dan apel.
Kelompok polisakarida anionik kompleks ini terdiri dari residu asam.
e. Agar
Agar adalah koloid hidrofilik yang terdiri dari
campuran agarose dan agaropectin yang memiliki kemampuan untuk membentuk gel
reversibel hanya dengan pendinginan larutan panas. Digunakan secara ekstensif
dalam media mikrobiologi untuk menunjukkan karakteristik yang membuatnya
berguna untuk coating. Agar telah digunakan secara luas sebagai pembentuk gel
dalam industri makanan.
f. Kitin/Kitosan
Kitosan merupakan polimer yang bersifat
biodegradable, berasal dari kitin dan kerangka organik utama substansi dari
cangkang chrustasea. Kitin adalah polimer alami dan tidak beracun
yang melimpah di alam setelah selulosa. Sifat yang dimiliki kitosan adalah
dapat membentuk film tanpa penambahan aditif, pameran oksigen yang baik dan
permeabilitas karbon dioksida, serta sifat mekanik yang baik dan aktivitas anti
mikroba terhadap bakteri, ragi, dan jamur . Namun, kelemahan utama dari kitosan
adalah susah terlarut dalam larutan netral. Kitosan dapat membentuk film transparan
untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur penyimpanan produk makanan.
g.Getah
Getah dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu
getah eksudat, getah ekstraktif (dari endosperm beberapa benih atau diekstrak
dari kayu) dan getah fermentasi mikroba (Xanthan). Dalam persiapan pembentukan
edibel, guar gum (E 412) digunakan sebagai pengikat air, stabilizer dan
viskositas pembangun. Gum arabic (E 414), karena kelarutannya dalam air panas
atau dingin, adalah yang paling kental pada getah hidrokoloid. Xanthan gum (E
415) adalah mudah terdispersi dalam air, maka konsistensi yang tinggi diperoleh
dengan cepat dalam sistem panas dan dingin. Campuran guar, getah Arab dan
xanthan disediakan pelapis seragam dengan baik yang melekat dan meningkatkan
adhesi dalam adonan basah. Getah mesquite membentuk film dengan sifat
penghalang uap air yang sangat baik ketika sejumlah kecil lipid yang
ditambahkan dalam formulasi (Diaz-Sobac, 2002).
2.5.Metode
Aplikasi dari Edibel Film dan Edible Coating
a. Dipping
Saat ini, pencelupan adalah metode umum untuk
menerapkan pelapisan pada buah dan sayuran. Lapisan ini dibuat dengan
mencelupkan dalam larutan coating dengan properti seperti densitas, viskositas
dan tegangan permukaan, serta kecepatan penarikan makanan dari larutan pelapis.
Umumnya makanan dicelupkan ke dalam solusi film pembentuk antara 5 dan 30
detik.
b. Rushing
Metode brushing untuk
mengaplikasikan film kepada biji segar dan stroberi lebih baik daripada metode
membungkus dan mencelupkan dalam hal mengurangi hilangnya kelembaban.
c.Spraying
Pelapisan dengan penyemprotan adalah metode
konvensional yang umumnya digunakan ketika coating berbentuk larutan yang tidak
terlalu kental. Memang, cairan yang sangat kental tidak dapat atau tidak mudah
disemprot. Jadi hanya teknik pencelupan dapat diterapkan memberikan ketebalan
tinggi pada pelapis. Parameter kualitas lapisan tergantung pada pistol semprot
dan nosel suhu, udara dan cairan laju alir, kelembaban udara yang masuk dan
dari larutan polimer. Saat ini telah ada sistem semprot yang terprogram secara
otomatis. Sistem penyemprotan klasik dapat menghasilkan semprotan baik dengan
relatif distribusi penurunan ukuran sampai dengan 20 m. Selanjutnya, faktor
lain yang berbeda sangat penting dalam pembentukan film polimer dengan sistem
penyemprotan, seperti waktu pengeringan, suhu pengeringan, metode pengeringan,
dll
d.Solvent Casting
Solvent Casting adalah teknik yang
paling digunakan untuk membentuk hidrokoloid edible film. Air atau etanol atau
dispersi dari bahan nabati yang tersebar pada substrat yang cocok dan kemudian
dikeringkan. Selama pengeringan film, penguapan pelarut menyebabkan penurunan
kelarutan polimer sampai rantai polimer menyesuaikan diri untuk membentuk film.
Pemilihan substrat penting untuk mendapatkan film, yang dapat dengan mudah
dikupas tanpa kerusakan setelah pelarut diuapkan. Umumnya, film yang
dikeringkan selama beberapa jam dalam oven berventilasi. Kadar air optimum (5 –
10% b / v) yang diinginkan dalam film kering. Struktur film tergantung pada
kondisi pengeringan (suhu dan kelembaban relatif).
e.Extrusion
Penerapan teknologi ekstrusi untuk edible film,
seperti film pati, adalah pilihan lain. Proses ekstrusi didasarkan pada sifat
termoplastik polimer saat plastik dipanaskan di atas suhu transisi kaca film di
bawah konten-kondisi air rendah. Proses ekstrusi produk polimer perlu
penambahan plasticizer seperti polietilena glikol, sorbitol
dalam jumlah 10% sampai 60% b / b. Dibandingkan dengan metode solvent
castingMetode ekstrusi menarik untuk proses industri karena tidak
memerlukan penambahan pelarut dan waktu penguapan.
2.6.Efek Penggunaan Edibel Film Pada Makanan dan Aplikasinya
Dalam rangka untuk memilih lapisan edibel
diterapkan pada produk makanan. Dua langkah kriteria yang diikuti tahap pertama,
untuk mengevaluasi nilai kelembapan pada film (pelapis dengan nilai-nilai yang
terbaik adalah diseleksi); dalam tahap kedua, untuk menentukan nilai dari
properti lainnya yang relevan (misalnya air tinggi atau rendah uap, oksigen
atau permeabilitas karbon dioksida, ketahanan mekanik yang baik, dll)
tergantung pada jenis makanan dan pada efek yang diinginkan. Hal ini
memungkinkan memperbaiki seleksi yang dilakukan di tahap pertama dan berakhir
dengan formulasi terbaik untuk aplikasi tertentu.
Lapisan stroberi dikarakterisasi dalam hal sifat
fisik stroberi (kemampuan kelembaban dan kemudian permeabilitas oksigen) dalam
rangka mengoptimalkan komposisi pelapis. Dalam kedua kasus, untuk meningkatkan
wettability dari larutan pelapisan, Efek dari penerapan pelapis ini untuk
stroberi segar dinilai dengan menentukan perubahan warna, ketegasan, penurunan
berat badan, padatan terlarut dan mikrobiologi pertumbuhan. Hasil menunjukkan
bahwa edible coating mengarah pada peningkatan stroberi ketegasan kehilangan, penurunan
kehilangan massa dan laju pertumbuhan mikroba.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Bahan dan
Alat
a.
Bahan
Bahan utama dalam penelitian ini berupa daun cincau hijau jenis Premna
Oblongifolia Merr. (varietas cincau pohon). Pada tahap aplikasi dengan
kemasan edible film menggunakan buah Anggur hijau. Tahap pengekstraksian
pektin cincau hijau menggunakan bahan berupa etanol 96% dan aquades.
Bahan yang digunakan untuk analisis proximat pektin Cincau hijau
hasil ekstraksi yaitu petroleum eter, H2SO4 pekat, HCL 0,02 N,
asam borat 4%, dan aquades. Bahan yang digunakan untuk pembuatan edible film
antara lain: pektin cincau hijau hasil ekstraksi, tapioka, CaSO4, aquades, dan
gliserol. Bahan yang digunakan dalam karakterisasi edible film adalah
aquades, larutan garam 40 %, anggur hijau segar, dan silica gel.
b.
Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan bubuk adalah blender, oven,
Ayakan 80 mesh, beaker glass. Alat yang digunakan dalam ekstraksi pektin cincau
hijau adalah blender, beaker glass, stirrer, thermometer, pengaduk, kain
saring, ayakan 100 mesh. Analisis pectin cincau hijau (hasil ekstraksi) antara
lain oven, eksikator, muffle, kompor listrik. Pada pembuatan edible film,
alat yang digunakan ialah: timbangan analitik, gelas ukur, beker glass, plat
plastik, hot plate, magnetic Stirer, pengaduk, dan oven. Alat yang digunakan
untuk karakterisasi edible film adalah micrometer Mitutoyo (ketelitian
0,001), Lloyd's Universal Testing Instrument 50 Hz model 1000 s,
stoples plastik dan cawan WVTR. Alat yang digunakan dalam analisis permeabilitas
uap air film dan nilai susut berat ialah: cawan WVTR, stoples, hair driyer, dan
timbangan analitik.
3.2 Tahapan Penelitian
Ada lima tahapan utama dalam penelitian ini yaitu: penyiapan
bahan (pembuatan bubuk cincau hijau, ekstraksi pektin daun cincau hijau), karakterisasi
pektin hasil ekstraksi, pembuatan edible film, karakterisasi edible
film. Berikut adalah gambar diagram alir rencana penelitian pembuatan edible
film dari pektin Cincau hijau:
Gambar 3.1 Diagram Alir Rencana Penelitian
1.
Penyiapan
Bahan
a.
Pembuatan
Bubuk Cincau Hijau (Premna Oblongifolia Merr.,)
Pembuatan bubuk cincau
ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Koswara (2008), pembuatan
bubuk cincau diawali dengan mencuci daun cincau segar dengan air suhu kamar, kemudian
dikeringkan dengan oven 50oC selama 18 jam atau dijemur dari jam
08.00 sampai 15.00 selama tiga hari (total 21 jam). Kemudian daun yang sudah
kering tersebut digiling dan diayak dengan ayakan berdiameter 0,5 milimeter.
Gambar 3.2 Diagram Alir pembuatan bubuk
b.
Tahap
Ekstraksi Pektin
Metode ekstraksi pektin
yang dilakukan menggunakan metode dari pembuatan edible film ekstrak
daun janggelan yang telah dimodifikasi yaitu tanpa perlakuan pemanasan, bubuk
cincau hijau sebanyak 25 gram ditambah dengan 500 ml aquadest dalam beaker
glass 1000 ml pada suhu 25oC, dan diaduk-aduk sampai rata dengan
menggunakan magnetic stirrer untuk membantu dalam proses ekstraksi.
Kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring, sehingga
diperoleh filtrat berupa cairan dan ampas. Filtrat selanjutnya ditambah dengan
etanol 96% dengan perbandingan 1:1. Diperoleh dua fraksi, yaitu gel yang terdapat
diantara cairan supernatan. Dilakukan penyaringan untuk memisahkan dua bagian
tersebut. gel yang diperoleh dan bebas dari air dan impurities lainnya,
selanjutnya dikeringkan dengan cabinet driyer pada suhu 50OC
selama 5 jam. Diperoleh bentuk lembaran - lembaran kering ekstrak daun cincau
hijau (pektin). Kemudian diblender sampai halus dan dilakukan pengayakan dengan
ayakan 100 mesh.
Gambar 3.3 Diagram Alir Ekstraksi Pektin
2.
Karakterisasi
Bubuk Cincau Hijau dan Pektin Cincau Hijau
Pektin cincau hijau
hasil ekstraksi selanjutnya dianalisa proximat yang meliputi analisa kadar air
dan kadar lemak, analisis protein dengan penentuan N total cara Mikro
Kjehdahl yang dimodifikasi dengan Kjeltec, analisis kadar abu.
3.
Pembuatan
Edible film Pektin Cincau Hijau
Pada pembuatan edible
film ini, dengan variasi konsentrasi pektin cincau hijau (0%, 10%, 20%, 30%
b/b berat tapioka), diagram alir pembuatan edible film komposit pektin
cincau hijau dapat dilihat pada gambar 3.4. Dua jenis larutan
awalnya disiapkan terlebih dahulu, yaitu pertama adalah larutan yang berisi
larutan pektin cincau hijau dengan konsentrasi 0%, 10%, 20%, 30% (b/b tapioka),
CaSO4 0,05% (b/b pektin cincau). Pektin cincau hijau, dan CaSO4 0,05% (b/b pektin
cincau) dilarutkan dalam 150 ml aquadest. Larutan kedua berisi 4 gram tapioka
yang dilarutkan dalam 150 ml aquadest, dipanaskan dalam hot plate selama
30 detik (sampai warnanya berubah menjadi bening), dan dilanjutkan dengan
pengadukan menggunakan magnetic stirrer selama 30 detik. Kemudian
larutan tapioca dituang ke dalam beaker glass yang telah berisi larutan
pektin cincau hijau dan CaSO4 0,05%. Selanjutnya gliserol 0,87% (b/v) atau 2,6 gram ditambahkan
pada larutan yang telah mengandung larutan pektin cincau hijau, CaSO4 0,05%, dan tapioka,
kemudian diaduk dan dipanaskan terus sampai 750C (dipertahankan
selama 5 menit), selanjutnya dipanaskan sambil diaduk hingga suhu 800C-850C
(dipertahankan selama 10 menit). Larutan dicetak dan dikeringkan pada suhu 60OC
selama 12 jam.
Gambar 3.4 Diagram Alir pembuatan Edible film
4.
Karakterisasi
Edible film
Pengujian karakter fisik edible film ini antara lain:
a.
Ketebalan
Film
b.
Pemanjangan
Film
c.
Kuat
Regang Putus Film
d.
Kelarutan
Film
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Ekstraksi dan
Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (Premna oblongifolia
Merr.)
4.1.1
Hasil karakteristik
kimia dan randemen bubuk cincau hijau
Bahan
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun cincau hijau (Premna
oblongifolia Merr.) yang terlebih dahulu dikeringkan menjadi bubuk sebelum
diekstraksi pektinnya. Bubuk cincau hijau yang diperoleh selanjutnya diuji
melalui analisis proksimat dan dihitung rendemennya. Analisa proksimat ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia dari bubuk cincau hijau yang
dihasilkan sebelum diekstraksi pektinnya. Hasil analisa kimia dan penghitungan
randemen bubuk cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) dapat dilihat
pada tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Karakteristik
bubuk cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.)
Kadar wet
basis (%)
|
Kadar dry
basis (%)
|
|
Air
Protein (N Total x 6,25)
Lemak
Abu
Karbohidrat (by different)
Serat kasar
Randemen
|
6,71
16,81
1,22
7,54
67,72
18,88
27,5
|
7,24
17,25
1,23
8,16
66,12
23,27
-
|
Kandungan
air dalam cincau hijau segar tergolong tinggi yaitu lebih dari 66% (Pitojo dan
Zumiyati, 2005), namun setelah melalui proses pengeringan, sebagian air dari
daun cincau hijau ikut menguap, sehingga kandungan air dari cincau hijau bubuk
dalam penelitian ini menjadi 6,71%. Menurut Haryadi (1991), kandungan air pada
cincau hijau yang dikeringkan berubah dari 71,1% menjadi 8,3%. Kandungan air
cincau hijau apabila dibandingkan dengan kandungan air cincau hitam yang memiliki
kandungan air sebesar 98% (Astawan dan Andreas, 2008); maka kandungan air
cincau hijau jauh lebih rendah.
Pengeringan
daun cincau hijau menjadi cincau bubuk, menurut Haryadi (1991), akan lebih
memudahkan pengujian sifat fungsionalnya; namun dengan adanya pengeringan juga
dapat mengakibatkan penurunan kemampuan daun cincau untuk membentuk gel. Pada
penelitian ini dihasilkan kandungan protein dari cincau hijau bubuk sebanyak
16,81%, sedangkan kandungan lemaknya sebesar 1,22%. Menurut Pitojo dan Zumiyati
(2005), kandungan protein dan lemak dari cincau hijau berturut - turut adalah
6% dan 1%. Kandungan protein cincau hijau dalam penelitian ini tergolong lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein dalam penelitian Pitojo dan
Zumiyati (2005).
Serat
kasar yang terkandung dalam cincau bubuk adalah sebesar 18,88%, sedangkan
kandungan karbohidrat dalam cincau bubuk adalah sebesar 67,72%. Apabila
dibandingkan dengan kandungan karbohidrat dari cincau hitam yaitu sebesar 26%
(Astawan dan Andreas, 2008), maka kandungan karbohidrat dari cincau hitam jauh
lebih tinggi. Kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam cincau bubuk
tergolong lebih tinggi daripada kandungan gizi yang lain; hal ini disebabkan
komponen utama yang terkandung dalam cincau hijau adalah polisakarida. Menurut
Artha dalam Nurdin dan Suharyono (2007), komponen utama ekstrak cincau hijau
yang membentuk gel adalah polisakarida pektin, karena kandungan utamanya adalah
pektin, maka cincau hijau dianggap sebagai sumber serat yang baik.
4.1.2
Hasil karakteristik
kimia dan randemen pektin cincau hijau
Setelah
diperoleh bubuk cincau hijau, selanjutnya dilakukan ekstraksi pectin cincau
hijau. Pektin yang diperoleh dianalisis karakteristik kimianya melalui analisis
proksimat dan dilakukan penghitungan rendemen. Hasil analisa proximat dan
randemen pektin cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.)
Tabel
4.2 Karakteristik pektin cincau hijau (Premna
oblongifolia Merr.)
Kadar wet
basis (%)
|
Kadar dry
basis (%)
|
|
Air
Protein
Lemak
Abu
Karbohidrat (by different)
Serat kasar
Randemen pektin dari
cincau bubuk
|
5,09
11,06
0,35
28,5
55,00
12,15
15,2
|
5,37
11,25
0,351
39,86
43,17
13,10
-
|
Kandungan
protein dan lemak dari pektin pada hasil penelitian ini, berturut-turut adalah
11,06% dan 0,35%. Sedangkan kandungan abu, serat kasar dan karbohidrat 28,5%;
12,5%; dan 55,00%. Dapat terlihat dari hasil penelitian bahwa kandungan abu
dari pektin cincau hijau lebih banyak dari bubuk cincau hijau. Menurut Haryadi
(1991), disebutkan bahwa cincau dalam bentuk bubuk yang bebas dari klorofil
hasil ekstraksi terdiri atas sebagian besar polisakarida dengan sedikit bahan
lain. Warna hijau dari cincau hijau disebabkan oleh adanya klorofil. Menurut
Meyer dalam Haryadi (1991), klorofil dapat larut dalam kebanyakan pelarut
organik, sehingga dengan demikian, penggunaan etanol sebagai pelarut organik akan
memucatkan warna dari ekstrak cincau kering. Selain itu, menurut Eskin (1971)
dalam Haryadi (1991), hal tersebut dapat menurunkan mutu dan kenampakan warna
dari cincau hijau. Berkurangnya kandungan klorofil tersebut dapat mengakibatkan
warna bubuk pektin yang dihasilkan berwarna kekuningan. Penelitian Kurniawan
(2005) dalam Nurdin dan Suharyono (2007) menunjukkan randemen hidrokoloid yang
dihasilkan dengan proses ekstraksi dengan asam sitrat tanpa proses pemurnian
dengan etanol berkisar antara 16,93% – 23,91%, sedangkan hasil penelitian
Krisnawati (2004) menghasilkan randemen sekitar 21,414 – 28,99%. Apabila dibandingkan
dengan randemen pektin yang dihasilkan pada penelitian ini, maka randemen
pektin cincau hijau hasil pemurnian dengan etanol lebih rendah. Nurdin dan
Suharyono (2007), hal ini dapat diketahui bahwa proses pemurnian menyebabkan
penurunan randemen. Asam dapat menyebabkan hidrolisis terhadap struktur
komponen pembentuk gel cincau pohon, sehingga diduga ada sebagian komponen
pembentuk gel cincau pohon hasil hidrolisis yang larut dalam air maupun etanol
pengekstrak yang lolos dari kain saring selama proses penyaringan.
4.2 Karakterisasi
Edible film Cincau Hijau
4.2.1
Pengaruh konsentrasi
pektin terhadap ketebalan edible film
Ketebalan
merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam
pembentukan produk yang akan dikemasnya. Ketebalan film akan mempengaruhi
permeabilitas gas. Semakin tebal edible film maka permeabilitas gas akan
semakin kecil dan melindungi produk yang dikemas dengan lebih baik. Ketebalan
juga dapat mempengaruhi sifat mekanik film yang lain, seperti tensille
strength dan elongasi. Namun dalam penggunaannya, ketebalan edible
film harus disesuaikan dengan produk yang dikemasnya. Hasil penelitian
ketebalan edible film cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.)
menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi pectin cincau hijau menyebabkan
kenaikan total padatan terlarut dalam larutan film, sehingga menyebabkan
ketebalan film semakin meningkat.
Pektin
pada konsentrasi 30% memberikan nilai ketebalan tertinggi, sedangkan pada
konsentrasi pektin 10% memberikan nilai ketebalan terendah namun tidak berbeda
nyata dengan konsentrasi pektin 0% dan pektin 20%. Pada penelitian ini
diketahui bahwa edible film pektin cincau hijau mempunyai ketebalan
0,127-0,145 mm. Analisis statistic menunjukan tidak beda nyata antar perlakuan.
Apabila dibandingkan dengan ketebalan film pada edible film komposit
maizena glukomanan yang mempunyai ketebalan 0,1613-0,182 mm pada penelitian
yang dilakukan oleh Siswanti (2008), maka edible film pektin cincau
hijau ini jauh lebih tipis. Namun apabila dibandingkan dengan edible film yang
dibuat dari komposit pektin albedo semangka dan tapioka dari penelitian yang
dilakukan oleh Anugrahati (2001), yang memiliki ketebalan antara 0,105 mm -
0,120 mm serta hasil penelitian edible film yang dibuat komposit protein
biji kecipir dan tapioka oleh Poeloengasih (2001), yang memiliki ketebalan
0,096 mm - 0,104 mm serta hasil penelitian murdianto (2005), edible film dari
ekstrak janggelan dengan ketebalan 0,073-0,085 mm maka edible film pektin
cincau hijau jauh lebih tebal. Murdianto (2005), menyebutkan bahwa perbedaan ketebalan
antara berbagai jenis film tersebut disebabkan komposisi formula film yang
berbeda.
4.2.2
Pengaruh konsentrasi
pektin terhadap kelarutan edible film
Kelarutan
film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film
ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang dikehendaki tingkat
kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas
(Nurjannah, 2004). Pada kenyataannya semakin tinggi konsentrasi pektin yang ditambahkan,
maka akan semakin meningkatkan tingkat kelarutan edible film.
Murdianto (2005) menyebutkan bahwa penambahan komponen yang bersifat hidrofob
mengakibatkan film memiliki kelarutan yang rendah; sedangkan Siswanti (2008),
menyebutkan bahwa peningkatan jumlah komponen yang bersifat hidrofilik diduga
menyebabkan peningkatan prosentase kelarutan film.
Dari
hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat kelarutan dari edible film cincau
hijau berkisar antara 64,9%-77,4%. Namun dari hasil penelitian tersebut di
atas, tidak terdapat perbedaan nyata pada setiap perlakuan konsentrasi. Edible
film cincau hijau bersifat hidrofilik, sehingga lebih mudah menyerap air.
Apabila dibandingkan dengan tingkat kelarutan pada edible film cincau
hitam pada penelitian yang dilakukan oleh Murdianto (2005) yang memiliki
tingkat kelarutan 44,9%-72,9%, dan edible film komposit
glukomanan-maizena pada penelitian yang dilakukan oleh Siswanti (2008) dengan
tingkat kelarutan berkisar antara 40,6% - 50,6%; maka edible film pektin
cincau hijau ini memiliki tingkat kelarutan yang lebih besar.
4.2.3
Pengaruh konsentrasi
pektin terhadap tensile strength edible film
Hasil
penelitian menunjukan bahwa, peningkatan konsentrasi pektin cincau hijau,
meningkatkan tensile strength (kekuatan regang putus) edible film yang
dihasilkan, berdasarkan hasil penelitian diperoleh kisaran nilai kuat regang
putus antara 0,70 Mpa - 2,53 Mpa dan berdasarkan hasil uji statistik, terdapat
perbedaan kekuatan regang putus yang signifikan antar keempat jenis edible
film. variasi konsentrasi pektin cincau hijau yang ditambahkan (10%, 20%,
30%) berpengaruh nyata terhadap kekuatan regang putus edible film cincau
hijau yang dihasilkan. Hal ini disebabkan, semakin meningkatnya konsentrasi
pektin cincau hijau yang ditambahkan, maka gaya interaksi antar matriks molekul
yang terdapat dalam edible film semakin kuat, sehingga meningkatkan
kekuatan dari edible film yang dihasilkan. Karena perbedaan komposisi dan
konsentrasi akan mempengaruhi kuat regang putus yang dihasilkan. Edible film dengan
kekuatan tarik tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari
ganggunan mekanis dengan baik, sedangkan kekuatan tarik film dipengaruhi oleh
formulasi bahan yang digunakan.
4.2.4
Pengaruh
konsentrasi pektin terhadap elongasi edible film
elongasi merupakan
prosentase perubahan panjang film saat ditarik. Perubahan penjang dapat dilihat
pada film robek, semakin tinggi konsentrasi pektin yang digunakan, maka semakin
menurunkan elongasi yang dihasilkan.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
1. Cincau adalah
tanaman yang daunnya menghasilkan gel (jeli), semacam agar-agar untuk bahan
minuman dan berkhasiat sebagai antipiretik (menurunkan suhu badan atau yang
populer sebagai panas dalam), dan stomakikum (merangsang nafsu makan).
2. Edibel film merupakan alternatif
untuk plastik sintetis untuk aplikasi makanan dan telah diterima oleh sebagian
banyak orang dalam beberapa tahun terakhir karena keunggulan mereka dari film
sintetis.
3. Pengujian
karakter fisik edible film ini antara lain:
a. Ketebalan
Film
b. Pemanjangan
Film
c. Kuat
Regang Putus Film
d. Kelarutan
Film
4. Kandungan
protein dan lemak dari pektin pada hasil penelitian ini, berturut-turut adalah
11,06% dan 0,35%. Sedangkan kandungan abu, serat kasar dan karbohidrat 28,5%;
12,5%; dan 55,00%.
DAFTAR
PUSTAKA
Karina
Rachmawati Arinda. 2009. Ekstraksi
Dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (Premna Oblongifolia. Merr) Untuk
Pembuatan Edible Film. Universitas Sebelas Maret : Surakarta.
Kontak : Muhammad Ilham (Ilhamchelsea1307@gmail.com)
+6285362462716
7CDFDDD0